Jakarta, JPPR – JPPR melaksanakan Webinar bertemakan “Mengkaji Konstitusionalitas Jadwal Pemilu di Indonesia” pada Kamis, 10 Maret 2022 yang dihadiri oleh Prof. Jimly Asshiddiqie Pakar Hukum Tata Negara, Hasyim Asy’ari (KPU RI), Dila Farhani (JPPR) sebagai narasumber.
Dalam sambutan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat, Nurlia Dian Paramita menyampaikan bahwasannya JPPR menyayangkan adanya perubahan pola penentuan hari H pemungutan suara Pemilu serentak 2024 yakni 14 Februari 2024.
“JPPR menganggap keputusan ini dapat berpotensi sebagai pencederaan amanat konstitusi, yang mana Original Intent dalam frasa lima tahun sekali di dalam UUD 1945 menjadi berubah. Teknis penyelenggaraan Pemilu maju menjadi Bulan Februari, tentu ini tidak konsisten dengan Pemilu yang dilaksanakan secara reguler yaitu biasanya dilaksanakan pada bulan April,” Jelas Mita
Mita beranggapan Pemilu yang dilaksanakan bulan Februari 2024 nanti akan berimbas pada Pemilu selanjutnya yang dapat bergeser pada bulan Desember atau bahkan dapat ditentukan semaunya.
Menanggapi isu penundaan Pemilu, Pakar hukum Tata Negara, Jimly Asshidiqie menganggap bahwa Amandemen UUD 45 dan revisi UU untuk perpanjangan masa jabatan pemerintah secara prosedural mustahil terjadi dan hanya permainan isu elit politik.
“Logika akal sehat di bidang hukum seluruh dunia, jika pertandingan (Pemilu) sudah dimulai, aturan pertandingan tidak akan mungkin diubah saat itu juga, waktu yang singkat untuk mengajukan penundaan Pemilu juga menjadi tidak memungkinkan. Apalagi saat ini DPR sedang reser, ini cuma isu main-main saja,” Ujar Jimly
Jimly menghimbau masyarakat agar tidak terpengaruh dengan wacana perpanjangan masa jabatan masa jabatan presiden ataupun penundaan Pemilu. Selain itu Jimly juga mengingatkan para partai politik agar lebih fokus mempersiapkan diri menjelang Pemilu serentak 2024.
Selain itu, Prof. Jimly juga menyinggung terkait penetapan pemilu di bulan Februari dengan Pasal 22 E ayat 1 seyogyanya dilaksanakan siklus Pemilu dilaksanakan secara tertentu dan tepat dalam siklus lima tahun sekali.
“Kalau kita mau membangun tradisi yang sehat, masa jabatan Presiden dan juga pelaksanaan Pemilu sebagai pilar demokrasi harus tertentu, seperti di Amerika dalam UU nya di sebut secara eksplisit kapan tanggal dan bulan pelaksanaan Pemilunya”
Prof. Jimly menegaskan bahwa tanggal Pemilu, dan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden harus dilakukan dengan waktu tertentu meskipun konstitusi tidak mejelaskan secara eksplisit, artinya perlu kejelian dan kepahaman bagi penyelenggara Pemilu dalam memahami makna UUD 1945.
Selain itu JPPR pun memiliki pembacaan terhadap beberapa perdebatan penentuan jadwal pelaksanaan Pemilu antara pemerintah dan KPU, bahwasannya kepastian siklus 5 lima tahun sekali tersebut didelegasikan kepada Undang-Undang untuk mengaturnya dengan mengikuti politik hukum negara atau Open Legal Legacy.
Masyarakat sipil juga mengharapkan integritas dan kemandirian KPU dalam melaksanakan mekanisme penyelenggaraan Pemilu yang ideal. Dalam hal ini meskipun masyarakat sipil tidak menjadi bagian dalam proses penentuan penyelenggaraan jadwal Pemilu, masyarakat tetap memiliki kepentingan karena berkaitan dengan kepentingan hukum publik (konstitusi) yang harus dijunjung tinggi dan ditaati secara bersama oleh seluruh pihak.