KOMISI Pemilihan Umum (KPU) mesti putar otak untuk mendongkrak antusiasme warga agar mau datang kembali ke tempat pemungutan suara (TPS) saat pemungutan suara ulang (PSU) Pemilu Legislatif 2024 berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, PSU digelar dalam rentang empat sampai lima bulan setelah Pemilu Serentak 2024 pada 14 Februari lalu.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramita menyinggung, terdapat implikasi dari pelaksanaan PSU yang merupakan amanat MK atas perkara sengketa hasil Pileg 2024 dengan kesediaan warga untuk meluangkan waktu lagi datang ke TPS. Menurutnya, partisipasi pemilih ditentukan oleh bagaimana KPU menyosialisasikan kegiatan PSU di daerah masing-masing.
Ia mengatakan, KPU mesti memikirkan strategi sosialisasi kepada pemilih dalam merasionalisasikan pelaksanaan PSU. Itu diperlukan agar pemilih dapat menerima kenyataan bahwa mereka harus melakukan pencoblosan ulang dan tidak merasa dirugikan.
“Karena harus memilih kembali menyediakan waktu dan kemauan. Ini catatan penting yang perlu dilakukan KPU untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan PSU,” terang Mita kepada Media Indonesia, Kamis (13/6).
Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa sebenarnya KPU sudah melaksanakan PSU berdasarkan rekomendasi Bawaslu kabupaten/kota beberapa hari setelah 14 Februari. Namun, sejumlah rekomendasi PSU dari Bawaslu tidak dapat dilaksanakan oleh KPU karena terbentur dengan aturan yang membatasi pelaksanaan PSU atas rekomendasi Bawaslu daerah, yakni 10 hari sejak pelaksanaan pungut hitung.
Oleh karenanya, sejumlah putusan MK yang diputus pada Kamis (6/6) sampai Minggu (10/6) lalu dengan amar memerintahkan KPU untuk menggelar PSU adalah buah dari tidak ditindaklanjutinya rekomendasi Bawaslu kabupaten/kota.
Sumber : mediaindonesia.com