Penggunaan teknologi informasi menjadi keniscayaan dalam menghadapi kompleksitas tahapan Pemilu 2024. Komisi Pemilihan Umum, pengemban kebijakan teknis dalam tahapan pemilu, dituntut mampu mengadopsi penggunaan alat bantu tersebut guna keefektifan dan kecepatan dalam menyajikan informasi yang diharapkan lebih transparan.
Namun, persoalannya, sistem TI dalam tahapan Pemilu 2024 justru masih menimbulkan berbagai spekulasi berkaitan dengan keterbukaan informasi. Rilis Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) dan KIPP Indonesia (20/1/2022) mengemukakan bahwa penerapan sistem elektronik pada tahapan pemilu banyak menimbulkan masalah teknis, bahkan sistem elektronik yang digunakan menjadi ruang gelap yang tidak terbuka dan tidak asksesibel bagi masyarakat untuk berpartisipasi mengawasi tahapan pemilu.
Hal senada juga disampaikan sebelumnya dalam aduan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih yang menyoroti potensi manipulasi data/kecurangan yang bersumber dari tahapan pendaftaran, verifikasi, dan penetapan partai politik. Aplikasi Sipol (Sistem Informasi Partai Politik) diduga menjadi sebab muasal kasus tersebut bergulir.
Perubahan data sebagaimana yang disampaikan sebagai masalah krusial bersumber dari perilaku petugas teknis yang tidak bisa diakses oleh publik. Penggunaan TI hanya bisa dikontrol oleh pihak KPU baik di tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota. Mochammad Afiffudin, komisioner KPU, mengakui sistem yang ada masih banyak kekurangan, termasuk potensi sengketa pada tahapan pencalonan DPD tahun 2024 akibat kendala dalam aplikasi Sistem Informasi Pencalonan (Silon) (Detik.Com, 21/1/22).
Tidak diatur dalam undang-undang
Menilik evaluasi atas pelaksanaan TI pada 2019, Mada Sukmajati dkk (2022) dalam bukunya, Menjajaki Reformasi Elektoral, mengatakan bahwa penggunaan sistem teknologi informasi disebut tidak berkelanjutan, lemah pada tingkat akurasi, dan menyumbang pengaruh buruk dalam manajemen pemilu. Pandangan Giddens (1984) dalam teori strukturasi mengemukakan bahwa prinsip desain teknologi membentuk target di mana tujuan politik diperebutkan dan sebaliknya.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 mengenai Pemilu tidak ditemukan frasa atau satu kata pun yang menyebutkan atau mewajibkan teknologi dan informasi (sistem elektronik). Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU No 19/2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur bahwa sistem elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik.
Pada prinsipnya, pemanfaatan TI selama ini diatur dalam peraturan teknis baik peraturan KPU maupun Bawaslu. Poin mengenai pengaturan untuk TI sebelumnya sudah disampaikan dalam usulan atas revisi UU No 7/2017, Komisi II DPR menolak karena alasan masih dalam penanganan pandemi Covid-19 (10/2/2021). Namun, pemerintah menerbitkan Perppu No 1/2022. Pendekatan TI urung disebut dalam ihwal yang disebut sebagai kegentingan yang mendesak tersebut. Dengan demikian, KPU tidak harus memperhatikan kebutuhan penggunaan TI sebagai kewajiban sebagaimana diterapkan pada pendaftaran calon peserta Pemilu 2024.
Keterlibatan multi-pihak dalam audit
Hasil pengawasan Bawaslu terhadap penggunaan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) pada Pilkada 2020 (Bawaslu.go.id, 16/12/20) di 3.269 kecamatan, yang menggunakan Sirekap hanya sebesar 20 persen atau sebanyak 708 kecamatan. Sisanya, 2.921 kecamatan atau 80 persen, masih menggunakan sistem manual.
Sementara dalam pengawasan Bawaslu terhadap sistem informasi partai politik dalam pendaftaran, verifikasi, dan penetapan parpol tahun 2024, Lolly Suhenty, Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat dan Humas Bawaslu, mengatakan bahwa terbatasnya akses Bawaslu terhadap data Sipol juga memengaruhi akuntabilitas penggunaan Sipol untuk merekapitulasi data hasil verifikasi faktual karena unggahan ke dalam sistem elektronik tidak dapat dilakukan secara optimal.
Pada proses pencalonan perseorangan anggota DPD tahun 2024 mengalami pemunduran waktu karena aplikasi atas pelaksanaan verifikasi administrasi mengalami gangguan teknis. Rifki, LO Balon (Bakal Calon) DPD Provinsi Sumatera Barat Haji Arif Yumardi, (21/1/2023), mengatakan bahwa ketika meng-input ada notice sukses, tetapi pas dicetak tidak terbaca pada aplikasi Silon KPU.
Permasalahan dalam proses teknis ini sedianya masih akan diperbaiki oleh KPU. Namun, dalam anggaran pemilu yang telah disepakati dengan nominal Rp 76,6 triliun, tidak ada klausul yang termaktub mengenai penguatan TI. Ini menandakan bahwa komitmen penggunaan dengan segala risiko sistem yang ada berpotensi tidak akan terselesaikan dengan baik.
Saat ini masih ada waktu bagi pemerintah dan Komisi II DPR untuk membentuk lembaga audit atas informasi tahapan pemilu dengan mengajak masyarakat sipil, akademisi, dan juga ahli IT. Jika proses yang selama ini berjalan dimaklumi sebagai kewajaran, apakah kita berbesar hati jika sepanjang pelaksanaan tahapan Pemilu 2024 sistem yang muncul dikatakan sebagai trial dan error?
Masyarakat sipil mendorong agar penyelenggaraan sistem elektronik yang digunakan dalam setiap tahapan pemilu serentak saat ini dapat dipertanggungjawabkan secara akuntabel kepada publik demi mewujudkan pelaksanaan pemilu yang berintegritas dan demokratis. Jika tidak, ketidakpercayaan masyarakat terhadap hasil tahapan sudah menganga di depan mata dan hasil Pemilu 2024 berpotensi tidak terlegitimasi. Relakah kita?
Nurlia Dian Paramita, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR)
Artikel ini sudah dipublikasikan di kompas.id dengan judul “Transparansi Penggunaan TI pada Tahapan Pemilu 2024” pada tanggal 28 Januari 2023 di https://www.kompas.id/baca/opini/2023/01/26/transparansi-penggunaan-ti-pada-tahapan-pemilu-2024