Potensi Permasalahan Sengketa Pemilu 2024 yang dilaksanakan oleh Bawaslu RI

Dalam kajian Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), penanganan sengketa pemilu 2024 mengalami serangkaian potensi permasalahan. Sengketa proses pemilu pada Bawaslu RI dilakukan dalam beberapa tahap yaitu 1) memeriksa keterpenuhan syarat formil dan materil 2) melakukan mediasi 3) melakukan ajudikasi yang terdiri dari rangkaian penyampaian permohonan, jawaban termohon, tanggapan pihak terkait, pembuktian (alat bukti dan saksi), kesimpulan para pihak, pembacaan putusan.[1]

Sehingga dipersempitnya waktu penyelesaian sengketa proses pemilu dari 12 hari kerja menjadi 6 hari kalender dikhawatirkan akan mengurangi kualitas pemeriksaan dan putusan yang dikeluarkan oleh Bawaslu.

Diperkuatnya kewenangan Bawaslu melalui UU 7/2017 yang salah satunya terkait sengketa proses dengan semangat bahwa kelembagaan Bawaslu yang menjadi quasi pengadilan serta meminimalisir adanya gugatan di PTUN menjadi salah satu harapan bagi para pencari keadilan yakni peserta Pemilu, dalam sengketa proses pemilu Bawaslu memiliki kemandirian dalam melakukan pemeriksaan hingga putusan.

Disisi lain Kemandirian tersebut merupakan beban Bawaslu karena jika ada kesalahan dalam memeriksa, menganalisis kasus, hingga memutus hal tersebut murni kesalahan Bawaslu begitupun sebaliknya karena dalam proses penyelesaian sengketa berbeda dengan penanganan pelanggaran melalui gakumdu yang melibatkan pihak penegak hukum lainnya sehingga terkadang terjadi perbedaan perspektif atau penafsiran.

Kewenangan penyelesaian proses sengketa pemilu yang sering disebut sebagai “mahkota” Bawaslu kemudian ruangnya dipersempit sebagai implikasi dari masa kampanye 75 hari (2,5 bulan), perlu menjadi catatan bahwa dipersingkatnya waktu penyelesaian proses pemilu akan mempengaruhi kualitas, kecermatan kajian serta penggalian fakta-fakta sehingga ada kecenderungan terburu-buru karena sempitnya waktu penyelesaian sengketa. Hal tersebut kemudian akan menghilangkan harapan para pencari keadilan dari adanya hak-hak peserta pemilu yang diciderai sebagai dampak dari keputusan atau BA yang dikeluarkan KPU.[2]

Bawaslu sebagai lembaga penyelenggara pemilu tentu sebaiknya menyatakan sikap jika memang harus dilakukan pemangkasan waktu penyelesaian sengketa proses hal tersebut semata demi menjaga marwah kelembagaan, bahkan beberapa komisioner Bawaslu baik di tingkatan RI/ Provinsi/ Kabupaten/ Kota tidak memiliki latar belakang hukum serta hanya satu komisioner yang telah dilatih dan memiliki sertifikasi sebagai mediator, disisi lain dalam melaksanakan kewenangan tersebut Bawaslu tingkat provinsi dan Bawaslu tingkat Kabupaten/Kota memiliki jumlah tenaga pendukung terutama di divisi penyelesaian sengketa, sehingga pemangkasan waktu kampanye perlu dipertimbangkan kembali demi terlahirnya putusan yang berkualitas dan berkeadilan.

Oleh karena itu JPPR berpandangan bahwa untuk tetap menjaga kualitas putusan yang dikeluarkan Bawaslu sebagai salah satu instrumen pemilu bagi para pencari keadilan perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

  1. Penyelesaian sengketa proses pemilu harus dilakukan dengan cermat dan tidak terburu-buru;
  2. Waktu penyelesaian sengketa proses pemilu tetap menjadi 12 hari sesuai pasal 468 ayat (2) UU no 7 tahun 2017;
  3. Dikarenakan Undang-undangnya tidak berubah maka tidak perlu adanya pemangkasan waktu dalam ihwal penyelesaian sengketa di Bawaslu;
  4. Tetap menjamin hak calon peserta pemilu serta calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten Kota atas pemangkasan waktu penyelesaian sengketa yang didalamnya terdapat waktu perbaikan, waktu pengesahan bukti, waktu mediasi, waktu menghadirkan saksi dan pembuktian, jarak terutama di wilayah geografis terluar dan kepulauan;
  5. Jika penyelesaian sengketa tidak sesuai sebagaimana poin 2, Bawaslu harus lebih cepat dan kurang dari 12 hari dalam penyelesaian sengketa, serta siap dan menjamin kualitas dari putusan sengketa proses pemilu. Bawaslu harus mampu berkoordinasi dengan MA terkait efisiensi waktu karena akan beririsan dengan tahapan lain yang dapat merugikan peserta jika putusan finalnya mengakomodir permohonan;
  6. Menyiapkan tenaga pendukung yang memenuhi aspek kualifikasi dan jumlah berdasarkan analisis beban kerja pada tahapan yang berpotensi jumlah permohonan sengketa jumlah yang banyak;
  7. Menjamin permohonan sengketa proses pemilu di Bawaslu tidak hanya formalitas untuk melakukan permohonan ke PTUN sehingga menjadi tidak maksimal kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang kepada Bawaslu.

Jakarta, 7 Juli 2022

Narahubung:

Dilla Farhani N, Manager Hukum dan Advokasi, 0812-5508-5399


[1] Lihat Pasal 33 Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum

[2] Lihat Pasal 466 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.

@2023 Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat