Politik Uang Ancam Demokrasi, JPPR Desak Penegakan Hukum Tegas

Maraknya politik uang menjelang Pilkada terus menjadi ancaman serius bagi kualitas demokrasi di Indonesia. Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menyoroti bahwa pelanggaran pemilu, khususnya politik uang, kerap terjadi di masa tenang. Menurut Koordinator Nasional JPPR, Rendi, praktik ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak mental dan moral masyarakat.

“Politik uang telah menciptakan budaya keliru di masyarakat, seolah-olah setiap ajang pemilu identik dengan peredaran uang. Praktik ini mencederai nilai demokrasi karena pemilih tidak lagi memilih berdasarkan visi, misi, dan program kerja, tetapi lebih pada iming-iming materi,” ungkap Rendi dalam sebuah diskusi di Rumah Pilkada.

Rendi menjelaskan bahwa berdasarkan survei terbaru Litbang Kompas, sebagian besar responden menganggap wajar jika calon kepala daerah memberikan uang kepada pemilih. Survei tersebut dilakukan menjelang Pilkada pada Oktober lalu dan menunjukkan bahwa budaya politik uang telah mengakar di masyarakat. “Inilah tantangan terbesar kita. Masyarakat terlanjur terbiasa dengan fenomena ini, dan ini sangat berbahaya bagi demokrasi,” tegasnya.

Menurut Rendi, salah satu penyebab utama maraknya politik uang adalah lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran ini. Banyak kasus yang tidak ditindak tegas karena berbagai alasan, seperti kesulitan pembuktian dan minimnya keberanian penyelenggara pemilu. “Kalau penegakan hukum tidak tegas dan konsisten, masyarakat akan terus melihat politik uang sebagai sesuatu yang lumrah. Ini harus diubah,” kata Rendi.

Ia menegaskan pentingnya dua langkah strategis untuk mengatasi masalah ini. Pertama, pendidikan pemilih dan pendidikan politik di masyarakat harus diperkuat. “Masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa politik uang adalah racun bagi demokrasi. Ini tidak hanya merusak proses pemilu, tetapi juga menghancurkan moral bangsa,” ujarnya.

Kedua, penegakan hukum yang tegas dan tanpa pandang bulu. Rendi meminta Bawaslu untuk menjalankan tugasnya dengan serius, terutama saat memasuki masa tenang, yang menurutnya sering kali menjadi “masa tegang” akibat aktivitas politik uang. “Bawaslu harus punya keberanian dan ketegasan untuk menindak setiap pelanggaran, baik itu dari pasangan calon, tim sukses, maupun pihak lain yang terlibat,” tegasnya.

Rendi juga mengingatkan bahwa masa tenang sejatinya adalah waktu untuk masyarakat merenung dan mempertimbangkan pilihannya tanpa tekanan atau pengaruh kampanye. “Masa tenang bukan untuk menggerilya mencari suara melalui politik uang. Ini adalah waktu hening bagi pemilih untuk berpikir secara matang tentang siapa yang pantas dipilih,” katanya.

JPPR berharap, dengan langkah-langkah pencegahan dan penindakan yang tepat, penyelenggaraan Pilkada 2024 dapat berjalan lebih bersih, berkualitas, dan berintegritas. Rendi menutup dengan pesan bahwa semua pihak, baik masyarakat maupun penyelenggara pemilu, memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga demokrasi yang adil dan beretika. “Hanya dengan komitmen bersama, kita bisa menghentikan politik uang dan mewujudkan pemilu yang benar-benar berlandaskan keadilan,” pungkasnya.

@2023 Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat