Perilaku memilih merupakan bentuk dari partisipasi politik dan merupakan bentuk partisipasi yang paling elementer dari demokrasi. Partisipasi politik termasuk didalamnya partisipasi dalam Pemilu/Pilkada adalah tindakan seorang warga negara biasa yang dilakukan secara sukarela untuk mempengaruhi keputusan-keputusan publik. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mendefinisikan “perilaku” sebagai tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Dalam definisi ini mengandung nilai bahwa perilaku merupakan reaksi terhadap stimulus baik secara internal (psikologis) maupun eksternal (sosiologis). Dinyatakan sebagai pemilih dalam Pilkada yaitu mereka yang telah terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT)
Bagian terpenting dari perilaku politik dapat dilihat dalam kadar kekentalan budaya politik pada suatu masyarkat. Sejauh mana budaya itu mempengaruhi perilaku seseorang. Sejauh itu pula perilaku politik masyarakat mengikatnya. Artinya,apabila budaya politik dalam suuatu masyarakat selalu menganggung-ngangungkan kosep paternalistik, maka hampir tidak dapat dipungkiri masyarakat tersebut akan berperilaku sesuai dengan pola-pola paternalnya (bapakisme- bapak adalah segalanya sama dengan pemerintah adalah bapak, oleh karena itu pemerintah harus ditaati)
Perilaku politik masyarakat dapat berubah-ubah sesuai dengan prefensi yang melatarinya. Hal tersebut disebakan setiap manusia dan masyarakat yang hidup dalam suatu ruang yang bergerak (tidak vakum). Berbagai perubahan perilaku politik khususnya dalam konteks partisipasi politik disebabkan oleh masuknnya seseorang pada suatu partai politik. Tumbuhnya kesadaran kelas dan berbagainya. Suatu perubahan perilaku sangat mungkin terjadi dalam konteks masyarakat yang selalu dan atau dikontrol dan ditekan. Dalam teori dialectic of control, menjelaskan bahwa seketat apapun strukrtur (negara) mengontrol (masyarkat) sejauh itu pula masyarakat dapat menemukan lubang-lubang untuk lolos dari pengawasan tersebut.
Dikaitkan dengan perilaku politik masyarakat di indonesia pada pemilihan umum tahun 1999 dapat digambarkan bahawa, ketika suatu partai di pillih oleh pemilih berdasarkan preferensi dan keinginan-keinginannya –seperti yang ditawarkan oleh partai politik dalam kampanye- ternyata tidak mampu memenuhi keinginnan pemilih, pemilih akan melakukan perubahan pilihan partai politiknya sesuai dengan programnya yang ditawarkan oleh partai politik lain dalam pemilihan umum berikutnya, yang sesuai dengn keinginan dan aspirasinya. Perilaku pemilih yang berubah ini dimungkinkan karena floating voters dalam negara yang berkembang (relatif) sangat banyak jumlanya.
Pendekatan sosiologis dipercaya bahwa perilaku memilih seseorang ditentukan oleh karakter dan latar belakang sosiologisnya seperti kedaerahan, etniksitas, agama, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan ras. Sebagai contoh, seseorang pemilih menentukan pilihan politiknya pada kandidat A karena adanya ikatan kedaerahan dengan pemilih. Pemilih menentukan kandidat B karena pemilih menilai kandidat memiliki ketaatan dalam beragama. Beberapa penelitan terdahulu, jika diantara faktor sosiologis yang siginifikan paling berpengaruh terhadap perilaku memilih adalah faktor agama, kedaerahan dan etnik/suku. Dalam konteks Pemilu/Pilkada, pasangan calon yang dinilai paling agamis, mewakilli daerah dengan pemilih besar, serta suku yang mayoritas, berpeluang untuk mendapatkan dukungan politik dari mayoritas pemilih. Pengejawantahan dari pendekatan ini, pasangan calon harus dapat mewakili daerah-daerah dengan pemilih besar serta membangun pencitraan yang agamis. Namun demikian, jika faktor sosiologis memiliki pengaruh yang cenderung menurun dari Pemilu/Pilkada ke Pemilu/Pilkada. Faktor sosiologis tidak mampu menjelaskan perubahan pilihan politik pemilih yang cepat, karena logikanya status sosial pemilih/masyarakat adalah tetap (tidak berubah), namun pilihan politiknya terbukti terjadi perubahan dari Pemilu/Pilkada ke Pemilu/Pilkada.
Pendekatan sosio-psiologis, pendekatan ini lahir dari kritikan bahwa asumsi pemilih yang punya daya sosial-ekonomi lebih baik dan berada dalam suatu jaringan sosial belum tentu berpartisipasi dalam pemilu bila ia tidak tertarik atau tidak punya ikatan psikologis dengan partai atau kandidat tertentu. Jika faktor psikologis individu memilki peran signifikan dalam menentukan pilihan politik seseorang, faktor psikologis tersebut terdiri dari 3 (tiga) hal, yakni identifikasi kepartaian, orientasi kandidat dan orientasi isu kampanye.
Aplikasi pendekatan ini dalam Pilkada, pemilih yang telahmengidentifikasikan dirinya dengan partai tertentu akan memilih kandidat yang diusung oleh partai tersebut. Pemilih akan memilih kandidat yang memiliki karakter personal baik seperti tegas, berintegritas, berwibawa, ramah dll. Pemilh akan memilih kandidat yang menawarkan isu kampanye yang sesuai dengan kebutuhan pemilih, seperti: pembangunan infrastruktur, pengentasan kemiskinan dll. Berdasarkan pengamatan penulis, pada konteks Pilkada pemilih lebih cenderung pada faktor orientasi kandidat dibanding partai politik dan hanya pada daerah-daerah tertentu yang memang menjadi basis ideologis partai sejak lama kondisi sebaliknya terjadi. Namun juga tidak dipungkiri jika semakin banyak partai pendukung maka akan semakin memudahkan dalam pembentukan struktur pemenangan hingga level desa/kelurahan karena melekat pada struktur partai.
Pendekatan diatas tidak serta merta dapat digeneralisasi untuk satu daerah. Tipologi dan karakteristik sosial budaya masyarakat yang berbeda menyebabkan karakteristik pemilih antara daerah satu dengan lainnya dapat berbeda. Misalnya masyarakat perkotaan dengan karaktersitik heterogen, mobilisasi tinggi, keterbukaan informasi, memiliki kecenderungan pemilihnya pada pendekatan sosiso-psikologis. Sementara itu, masyarakat perdesaan yang memiliki karakteristik homogen, tradisional, tingkat kekerabatan tinggi, memiliki kecenderungan pemilihnya dengan pendekatan sosiologis atau sosio-psikologis.
Penulis
Alwan Ola Riantoby (081316702993)