SEKNAS JPPR–Ibarat meja, sejatinya, sebuah pemilihan umum yang demokratis dapat dikatakan memiliki ”kaki-kaki” penting yang harus seimbang untuk menghasilkan pemilu yang berkualitas dan berintegritas. Selain penyelenggara pemilu, para pemilih, dan peserta pemilu, juga ada ”kaki” keempat yang berperan penting mengawasi, sekaligus mengadvokasi agar pemilu berjalan dalam koridor yang benar, yakni masyarakat sipil yang intens mengawal isu-isu pemilu.
Kompas berbincang dengan sejumlah elemen masyarakat sipil untuk mengetahui ekspektasi dan kontribusi mereka pada Pemilu 2024. Sebagian besar menaruh perhatian pada kepentingan pemilih yang belum diakomodasi peserta pemilu. Bahkan, situasi belakangan memunculkan kekhawatiran potensi munculnya manipulasi suara.
Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta berharap, Pemilu 2024 berlangsung secara demokratis. Seluruh pihak mulai dari peserta pemilu, penyelenggara pemilu, dan pemilih memastikan proses pemilu hingga terbentuknya parlemen memenuhi standar yang baik. Mulai dari peserta pemilu memberikan ide dan gagasan kepada pemilih, penyelenggara yang independen, serta pemilih bisa menggunakan hak pilihnya sesuai keinginan, tanpa ada paksaan maupun politik uang dari peserta pemilu.
”Dengan demikian, hasil Pemilu 2024 benar-benar menggambarkan kepentingan dan kebutuhan pemilih,” ujarnya.
Kaka melihat gaung pemilihan presiden sangat mendominasi wacana di Pemilu 2024. Elite politik cenderung mengisi ruang publik dengan kontestasi elektoral berupa penentuan bakal capres-cawapres. Belum banyak yang mengadu gagasan. Sementara interaksi antara pemilih dengan bakal caleg justru sangat rendah karena parpol lebih mengikuti genderang besar pencapresan.
Di tengah situasi tersebut, KIPP berkomitmen mengadvokasi kebutuhan pemilih agar lebih berdaya. Pihaknya terus membangun wacana publik agar terbangun kesadaran pemilih agar pilihannya rasional dan berdasarkan kepentingan.
”Pemilih muda menjadi target utama kami karena menjadi investasi jangka panjang dalam memberikan pendidikan pemilih,” tutur Kaka.
Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) Erik Kurniawan berharap, penyelenggaraan Pemilu 2024 berjalan dengan damai dan lancar. Proses pergantian kekuasaan harus dilaksanakan sebagaimana tahapan dan jadwal yang sudah ditetapkan karena hal itu merupakan amanat konstitusi. Namun, hingga empat bulan menuju pemungutan suara 14 Februari 2024, ia menilai narasi-narasi yang dibangun peserta pemilu masih belum kuat. Narasi yang digaungkan parpol, bakal capres-cawapres, ataupun bakal caleg masih cenderung normatif. Adu gagasan masih belum terlihat, justru yang menguat adalah kalkulasi parpol untuk memenangkan pilpres.
Di tengah pendeknya masa kampanye selama 75 hari, pemilih membutuhkan informasi mengenai para peserta pemilu yang akan dipilih di tempat pemungutan suara. Masa sosialisasi yang panjang cenderung tidak digunakan peserta pemilu ataupun calon peserta pemilu untuk memperkenalkan diri ke pemilih. Gaung politik gagasan di ruang publik cenderung sayup, bahkan hanya didominasi pertarungan pilpres. Padahal, Pemilu 2024 tidak hanya memilih presiden-wapres, melainkan ada lima jenis pemilihan.
Oleh karena itu, lanjut Erik, SPD berkomitmen mencanangkan jubir warga ketika masa kampanye. Pemilih sebagai salah satu elemen penting pemilu harus berani mengidentifikasi kepentingannya kepada peserta pemilu. Dengan demikian, pemilih tak sekadar jadi obyek suara dalam kontestasi, melainkan bagian utama dalam proses demokrasi.
”Stigma buruk politik membuat publik apolitis dan bersikap bodo amat. Padahal, pemilih bisa menentukan siapa yang menduduki jabatan politik lewat pemilihan,” ujarnya.
Di sisi lain, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramita berpendapat, Pemilu 2019 menyisakan persoalan suara tidak sah yang cukup tinggi. Artinya, ada problem besar masyarakat tidak mampu mengikuti proses pemilu secara substantif. Pemilih memang menggunakan hak suara ke tempat pemungutan suara dengan gembira, tetapi hal itu sekadar melaksanakan kebiasaan lima tahunan.
Pendidikan pemilih
Namun, antusiasme penggunaan hak pilih tersebut tidak diimbangi narasi tentang gagasan, visi, dan misi peserta pemilu. Peserta pemilu masih belum aktif menyebarkan ide sehingga masyarakat lebih banyak menggunakan media sosial yang belum terverifikasi kebenarannya sebagai sumber informasi. Padahal, informasi yang diberikan langsung oleh peserta pemilu melalui berbagai media bisa menjadi titik awal mengenali calon pemimpin.
Pemilih muda menjadi target utama kami karena menjadi investasi jangka panjang dalam memberikan pendidikan pemilih.
”Ruang publik gaduh tentang kontestasi pilpres dan minim gagasan dari caleg. Terlebih, sekarang KPU dan Bawaslu minim informasi,” ucapnya.
Oleh karena itu, JPPR berkomitmen memperkuat pendidikan pemilih. JPPR menggelar sosialisasi mengenai pendidikan pemilih dan pelatihan memantau di sekolah-sekolah di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, serta Bekasi. Anggota JPPR juga membuat pelatihan sadar konten bersih serta membuat forum warga muda untuk mencegah disinformasi dan misinformasi di kalangan pemilih muda.
Anggota JPPR yang tersebar di berbagai daerah mengajak pemilih untuk ikut mengawal suara di tempat pemunguran suara (TPS), hingga kecamatan. Pihaknya juga menginformasikan berbagai modus kecurangan pemilu agar pemilih bisa melindungi suaranya tanpa ada manipulasi. JPPR juga akan memantau pemungutan suara di TPS lokasi khusus, seperti lembaga pemasyarakatan, pondok pesantren, panti asuhan, dan daerah tambang.
Baca selengkapnya di https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/10/14/masyarakat-sipil-mengawal-kepentingan-dan-suara-pemilih?open_from=Section_Politik_&_Hukum