Kemunculan capres Ganjar Pranowo dalam video azan maghrib yang disiarkan televisi publik memicu polemik apakah kandidat dari PDI Perjuangan tersebut melakukan politik identitas.
Di video itu Ganjar tengah berwudhu kemudian salat berjamaah di sebuah masjid dengan mengenakan baju koko putih, peci hitam dan sarung.
Anggota Bawaslu, Totok Hariyono berkata pihaknya sedang menelusuri apakah ada unsur etik atau norma kampanye yang dilanggar dari penayangan tersebut.
Namun pengamat pemilu, Kaka Sumita berpendapat tampilan video itu sudah termasuk politisasi identitas karena Ganjar menonjolkan agama atau keyakinannya yang patut diduga hendak memengaruhi pilihan masyarakat.
Akan tetapi Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto menampik tuduhan itu dan berdalih bahwa tayangan tersebut hanya memperlihatkan kehidupan spiritual Ganjar yang religius.
Mengapa video azan maghrib menjadi polemik?
Tayangan video azan maghrib di salah satu stasiun televisi swasta membuat heboh publik karena bakal capres Ganjar Pranowo tampil sebagai model.
Mulanya video azan itu dibuka dengan pemandangan alam Indonesia. Ganjar lalu muncul menyambut jemaah yang akan salat.
Di situ Ganjar mengenakan baju koko putih, peci hitam dan sarung batik.
Dia lantas menyalami dan mempersilakan jemaah yang datang untuk masuk ke masjid.
Rangkaian video berikutnya Ganjar terlihat melakukan wudu dan setelahnya duduk di saf depan sebagai makmum.
Warganet yang membagikan potongan video azan maghrib tersebut di media sosial menyebut bakal capres dari PDI Perjuangan ini melakukan politik identitas.
Karena belum ada sejarahnya pejabat publik muncul sebagai model video azan, apalagi mendekati tahun pemilu.
Tapi sebagian warganet lainnya menilai video tersebut tak lebih dari sekadar ajakan kepada orang-orang agar salat.
Apa itu politik identitas?
Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Nurlia Dian Paramita menjelaskan politik identitas adalah ketika seseorang menggunakan simbol-simbol yang berkaitan dengan sesuatu yang melekat di dirinya.
Entah itu berupa suku, agama, atau ras.
Tujuannya, kata Nurlia, untuk menyatukan atau menghimpun kekuatan dengan kesamaan yang dimiliki.
Pengamat politik Hendri Satrio mengatakan politik identitas adalah hal yang wajar digunakan dalam ‘marketing politik’ atau perburuan suara pemilih.
Suara pemilih yang dimaksud terdiri dari yang tipikal rasional, emosional, dan sosiologis.
Tipikal emosional yakni berdasarkan suka atau tidak suka dan sosiologis yaitu berdasarkan agama dan suku.
Apakah Ganjar melakukan politik identitas?
Koordinator JPPR, Nurlia Dian Paramita menduga bakal capres Ganjar Pranowo memang melakukan potensi politik identitas.
Karena sebelumnya dia tidak pernah akrab dengan situasi yang lekat dengan simbol keagamaan.
Dan melalui video tayangan azan maghrib, Ganjar berupa memperlihatkan citra dirinya yang identik dengan umat Islam.
Baca selengkapnya di https://www.bbc.com/indonesia/articles/cd1mmn3e31yo